Senin, 12 Juli 2010

SEJARAH TAREKAT NAQSYABANDIYAH

PEMBAHASAN

A. SEJARAH TAREKAT NAQSYABANDIYAH
Kebanyakan orang Naqsyabandiyah Mujaddidiyah dalam dua abad ini menelusuri keturunan awal mereka melalui Ghulam Ali (Syekh Abdullah Dihlavi [m. 1824]), karena pada awal abad ke-19 India adalah pusat organisasi dan intelektual utama dari tarekat ini. Khanaqah (pondok) milik Ghulam Ali di Delhi menarik pengikut tidak hanya dari seluruh India, tetapi juga dari Timur Tengah dan Asia Tengah. Hingga kini Khanaqah masih tetap (pernah mengalami masa tidak aktif akibat perampasan Delhi oleh orang Inggris pada tahun 1857). Namun fungsi Pan-Islami-nya sebagian besar diwarisi oleh para wakil dan pengganti Ghulam Ali yang menetap di tempat-tempat lain di Dunia Muslim. Yang terpenting adalah para syekh yang tinggal di Makkah dan Madinah: kedua kota suci ini menyebarkan Tarekat Naqsyabandiyah di banyak tanah Muslim sampai terjadinya penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah pada 1925, yang mengakibatkan dilarangnya seluruh aktivitas sufi.
Demikianlah, Muhammad Jan Al-Makki (w. 1852), wakil Ghulam Ali di Makkah, menerima banyak peziarah Turki dan Basykir, yang kemudian mendirikan cabang-cabang baru Naqsyabandiyah di kampung halamannya. Pengganti Ghulam Ali yang pertama di Khanaqah Delhi, Abi Sa’id, melewatkan beberapa waktu di Hijaz untuk menerima pengikut baru. Anak dan pengganti Abu Sa’id, Syekh Ahmad Sa’id, memilih tinggal di Madinah setelah suatu peristiwa besar pada tahun 1857, memindahkan arah Naqsyahbandiyah India ke Hijaz untuk sementara. Ketiga putra Ahmad Sa’id sama-sama memperoleh warisannya: dua orang pergi ke Mekkah dan menarik pengikut dari India serta Turki di sana. Sementara yang ketiga, Muhammad Mazhhar, tetap di Madinah dan mengelola pengikut yang terdiri dari ulama dan pengikut dari India, Turki Daghestan, Kazan, dan Asia Tengah. Namun, yang paling penting dari pengikut Muhammad Mazhhar adalah seorang Arab, Muhammad Salih al-Zawawi dan murid-muridnya yang tidak merasakan kebencian, yang umumnya ditujukan kepada Ulama Pribumi terhadap orang-orang non Arab dalam masyarakat mereka.
Sebagai guru fiqih Syafi’i, dia memiliki akses khusus terhadap orang-orang Indonesia dan orang-orang Melayu yang berkumpul di Hijaz, serta berkat al-Zawawi dan murid-muridnyalah Naqsyabandiyah dikenal secara serius di Asia Tenggara. Di Pontianak di pantai barat Kalimantan, masih terdapat berbagai jejak garis Naqsyabandiyah yang terpancar dari Hijaz ini. Dorongan yang membawa Naqsyabandiyah ke zaman modern berasal dari pengganti Ghulam Ali yang lainnya. Maulana Khalid al-Bagdhadi (w. 1827). Beliau mempunyai peranan yang penting di dalam perkembangan tarekat ini sehinga keturunan dari para pengikutnya dikenal sebagai kaum Khalidiyah, dan dia kadang-kadang dipandang sebagai “Pemburu” (Mujaddid) Islam pada abad ke-13, sebagaimana Srihindi dipandang sebagai pemburu Milenium kedua. Khalidiyah tidak terlalu berbeda dengan para leluhurnya Mujaddidiyah. Yang baru adalah usaha Maulana Khalid untuk menciptakan tarekat yang terpusat dan disiplin, terfokus pada dirinya pribadi, dengan cara ibadah yang disebut Rabithah (“petautan”) atau konsentrasi pada citra Maulana Khalid sebelum berdzikir.
Dalam jangka panjang, Sulaiman Zuhdi lebih berhasil dari pada pesaingnya, hingga Jabal Abi Qubais di Makkah, tempat dia tinggal, dipandang sebagai sumber seluruh Tarekat Naqsyabandiyah di Asia Tenggara. Di antara murid ini banyak yang mendirikan Khalidiyah di berbagai tempat di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, yang paling penting adalah Abdil Wahab Rokan (w. 1926). Beliau dikirim dari Makkah pada tahun 1868 dengan misi untuk menyebarkan Khalidiyah di seluruh Sumatera, dari Aceh sampai Palembang — misi yang beliau dilaksanakan dengan sukses besar adalah dari pesantrennya di Bab Al-Salam, Lengkat-Tinggal menetap selama tiga tahun di Johor, dan memungkinkan dia untuk memperluas pengaruhnya lebih jauh ke Semenanjung Malaya. Praktik Naqsyabandiyah di Dunia Melayu Indonesia sejak dini sangat berbeda dengan adanya ritual yang disebut dengan suluk, yakni menyendiri dengan jangka waktu yang berbeda-beda dan sebagian diiringi dengan puasa. Asal usul praktik ini sangat berbeda dengan tradisi Naqsyabandiyah yang tidak diketahui. Putusnya hubungan dengan Makkah akibat penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah makin menambah ciri khas bagi kaum Naqsyabandiyah di Melayu Indonesia.



B. PENDIRI TAREKAT NAQSYABANDIYAH
Pendiri tarekat naqsyabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yakni, Muhammad bin Bahaudin al-Uwaisi al-Bukhari (717-791 H), dilahirkan di sebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempatlahir imam Bukhari. Ia berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik. Ia mendapat gelar Syah yang menunjukan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin spiritual. Setelah ia lahir segera dibawa oleh ayahnya kepada Baba al-Samasi yang menerimanya dengan gembira. Ia belajar tasawuf kepada Baba al-Samasi ketika berusia 18 tahun. Kemudian ia belajar tarekat pada seorang quthb di Nasaf, yaitu Amir Syayid Kulal al-bukhari (w. 772/1371). Kulal adalah seorang khalifah Muhammad Baba al-Samasi. Dari kulal inilah ia pertama belajar tarekat yang didirikannya. Selain itu Naqsyabandi pernah belajar pada seorang arif bernama al-Dikkirani selama sekitar satu tahun. Ia pun pernah bekerja untuk Khalil penguasa Samarkand, kira-kira selama dua belas tahun. Ketika sang penguasa digulingkan pada tahun 748/1347 M, ia pergi ke Ziwartun. Dian ia menggembalakan binatang ternak selama tujuh tahun, dan tujuh tahun berikutnya dalam pekerjaaan perbaikan jalan. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari pendidikan dan pembinaan mistisnya untuk memperdalam sumber-sumber rasa kasih sayang dan cinta kepada sesama manusia serta membangkitkan perasaan pengabdian dalam memasuki lingkungan mistis. Ia biasa disebut Naqsyabandi diambil dari kata Naqsyaband yang berarti lukisan, karena ia ahli dalam memberikan lukisan kehidupan yang ghaib-ghaib sebagaiman dalam buku The Darvishes karangan J.P Brown. Tarekat Naqsyabandiyah ini berhubungan langsung kepada Nabi Muhammad sebagaimana diterangkan dalam silsilahnya oleh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub.
Tarekat Naqsyabandiyah mempunyai kedudukan yang istimewa karena berasal dari Abu Bakar dan mengenai diri Abu Bakar, Nabi Muhammad pernah bersabda, “ Tidak ada sesuatupun yang dicurahkan Allah dalam dadaku melainkan aku mencurahkan nya kembali kedalam dada Abu Bakar”. Tarikat Naqsyabandiyah ini kemudian pecah dalam berbagai cabang.
Tarekat Naqsyabandiyah banyak tersebar di Sumatera, Jawa, maupun di Sulawesi. Umpamanya di Sumatera Barat, di daerah Minangkabau , tarekat ini dibawa oleh Syekh Ismail al-Klalidi al-Kurdi sehingga dikenal dengan sebutan Naqsyabandiyah al-Kkalidiyah. Amalan tarikat ini tidak banyak dijelaskan ciri-cirinya.

C. SILSILAH
Karena mereka mengaku bahwa dasar-dasar pemikiran dan pengalaman sebuah tarekat berasal dari Nabi sendiri, para pengikut sebuah tarekat memandang sangat penting sekali urutan-urutan nama para guru yang telah mengajarkan dasar-dasar tarekat itu secara turun menurun. Garis keguruan itu biasa disebut silsilah. Setiap guru sebuah tarekat dengan hati-hati menjaga silsilah yang menunjukkan siapakah gurunya dan siapa guru-guru sebelum dia, sampai kepada Nabi. Silsilah itu bagaikan kartu nama dan legitimasi seorang guru, menunjukan ke cabang tarekat mana ia termasuk dan bagaimana hubungannya dengan guru-guru tarekat lainnya. Silsilah Tarekat Naqsyabandiyah bersambung dari Rasulullah kepada Sayyidina Abu Bakar Siddiq r.a., kepad Sayyidina Salman Al Farisi r.a., dan seterusnya sampai dengan ahli silsilah yang terakhir, walaupun inti ajaran pokoknya adalah sama, yaitu zikrullah, namun nama – nama tarekatnya berbeda antara satu periode keperiode selanjutnya, Nama nama itu adalah sebagai berikut :
1) Pada masa periode Rasulullah SAW dinamakan dengan Thariqatus Sirriyah, karena halus dan tingginya peramalan ini.
2) Pada masa periode Abu Bakar Siddiq r.a. dinamakan dengan Thariqatus Ubudiyah, karena beliau melihat kesempurnaan pengabdian Nabi Muhammad SAW sepenuhnya kepada Allah SWT, dan untuk Nya baik lahir maupun batin.
3) Pada masa periode Salman Al Farisi r.a. sampai denga periode Syekh Thaifur Abu Yazid Al Busthami q.s. dinamakan dengan Thariqatus Shiddiqiyah, karena kebenaran dan kesempurnaan Sayyidina Abu Bakar Siddiq r.a., mengikuti jejak Rasulullah SAW lahir maupun batin.
4) Pada masa periode Abu Yazid Al Busthami sampai dengan periode Syekh Abdul Khaliq Al Fajduwani q.s. dinamakan dengan Thariqatuth Thaifuriyah, mengambil nama asli dari Syekh Tahifur bin Isa bin Adam bin Sarusyan.
5) Pada masa periode Syekh Abdul Khaliq Al Fajduwani q.s. sampai dengan periode Syekh Bahauddin Naqsyabandi q.s. dinamakan dengan Thariqatul Khawajakaniyah, mengambil nama Khawajah Syekh Abdul Khaliq Al Fajduwani q.s.
6) Pada masa periode Syekh Bahauddin Naqsyabandi q.s. sampai dengan periode Syekh Nashiruddin Ubaidullah Al Ahrar q.s. dinamakan dengan Thariqatun Naqsyabandiyah, mengambil nama dari Syekh Bahauddin Naqsyabandy.
7) Pada masa periode Syekh Nashiruddin Ubaidullah Al Ahrar q.s. sampai dengan periode Syekh Ahmad Al Faruqi q.s. dinamakan dengan Thariqatun Naqsyabandiyah Al Ahrariyah. Mengambil nama dari Nashiruddin Ubaidullah Al Ahrar q.s.
8) Pada masa periode Syekh Ahmad Al Faruqi q.s. sampai dengan periode Maulana Asy Syekh Dhiyauddin Khalid Al Ustmani Al Kurdi q.s. dinamakan dengan periode Thariqatun Naqsyabandiyah Al Mujaddidiyah.
9) Pada masa periode Maulana Asy Syekh Dhiyauddin Khalid Al Ustmani Al Kurdi q.s. sampai dengan sekarang dinamakan dengan Thariqatun Naqsyabandiyah Al-Mujaddidiyah Al Khalidiyah.
Nama nama itu diberikan oleh murid murid setelah masa hidup Syekh Mursyidnya.Seperti nama Thariqatul Ubudiyah diberikan oleh Abu Bakar Siddiq r.a., karena beliau melihat kesempurnaan pengabdian Nabi Muhammad SAW. Nama Thariqatus Siddiqiyah diberikan oleh Sayyidina Salman Al Farisi r.a., karena kebenarannya dan kesempurnaan Sayyidina Abu Bakar Siddiq r.a demikian seterusnya.

D. PENYEBARAN TAREKAT NAQSYABANDIYAH
Tarekat naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat yang mempunyai dampak dan pengaruh yang sangat besar kepada masyarakat muslim di berbagai wilayah yang berbeda-beda. Tarekat ini pertama kali berdiri di asia tengah kemudian meluas ke turki, suriah, afganistan dan india.
Ciri menonjol tarekat Naqsyabandiyah adalah pertama,diikutinya syariat secara ketat, keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, dan lebih menyukai berzikir dalam hati. Kedua, upaya yang serius dalam mempengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara dan agama. Berbeda dengan tarekat lainnya, tarekat naqsyabandiyah tidak menganut kebijaksanaan isolasi mdiri dalam menghadapi pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu. Sebaliknya ia melancarkan konfrontasi dengan berbagai kekuatan politik agar dapat mengubah pandangan mereka. Selain itu tarekatini pun membebankan tanggung jawab yang sam kepada para penguasa dan menganggap bahwa upaya memperbaikan penguasa adalah sebagai prasyarat untuk memperbaiki masyarakat.
Penyebaran tarekat Naqsyabandiyah kemudian memasuki wilayah India (yang kemudian berpengaruh ke wilayah indonesia), sekitar abad 10/16 M atau tepatnya pada tahun 1526. Perluasan dan aktifitas spiritual tarekat Naqsyabandiyah di India mendapat dorongan yang sangat tinggi di bawah kepemimpinan Sirhindi ( 972-1033 H/1564-1624 M ) yang dikenal sebagai Mujaddid Alf-i Tsani (pembaru milenium kedua, w. 1642).
Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebaran nya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim (meskipun sedikit di antara orang-orang Arab) serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani (“Pembaru Milenium kedua”, w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).
Dalam perkembangan dan penyebarannya di nusantara, tarekat Naqsyabandiyah mengalami pasan surut. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, gerakan pembaharuan dan politik. Syaikh Yusuf Makassari (1626-1699) merupak orang pertama yang memperkenalkan tarekat Naqsyabandiyah di nusantara. Seperti disebutkan dalam bukunya, Safinah al- Najah, ia menerima ijasah dari syaikh Muhammad ‘Abd. Al-Baqi di yaman kemudian mempelajaritarekat ketika berada di madinah di bawah bimbingan Syaikh Ibrahim al-Kurani. Syaikh Yusuf berasal dari kerajaan islam gowa, sebuah kerajaan kecil di sulawesi selatan, dan ia mempunyai pertalian darah dengan keluarga kerajaan di daerah itu. Dalam usia yang relatif masih muda ia pergi ke Yaman diteruskan ke Mekah dan Madinah yang kemudian di bawa pulang ke indonesia. Ia tidak langsung pulang ke daerah aslanya di karenakan adanya situasi politik dan menetap di Banten jawa barat, hingga ia menikah dengan putri sultan Banten dan menjadi seorang syaikh bersuara lantang dan sangat berpengaruh.
Tarekat Naqsyabandiyah yang menyebar di nusantara berasal dari pusatnya di Mekah, yang dibawa oleh para pelajar Indonesia yang belajar disan dan oleh para jemaah haji Indonesia. Mereka ini kemudian memperluas dan memyebarkan tarekat ini ke seluruh pelosok nusantara.

E. TEKNIK DAN RITUAL TAREKAT NAQSYABANDIYAH
Seperti tarekat-tarekat yang lain, Tarekat Naqsyabandiyah itu pun mempunyai sejumlah tata-cara peribadatan, teknik spiritual dan ritual tersendiri. Memang dapat juga dikatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah terdiri atas ibadah, teknik dan ritual, sebab demikianlah makna asal dari istilah thariqah, “jalan” atau “marga”. Hanya saja kemudian istilah itu pun mengacu kepada perkumpulan orang-orang yang mengamalkan “jalan” tadi. Naqsyabandiyah, sebagai tarekat terorganisasi, punya sejarah dalam rentangan masa hampir enam abad, dan penyebaran yang secara geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah mengherankan apabila warna dan tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan aneka variasi mengikuti masa dan tempat tumbuhnya. Adaptasi terjadi karena keadaan memang berubah, dan guru-guru yang berbeda telah memberikan penekanan pada aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta para pembaharu menghapuskan pola pikir tertentu atau amalan-amalan tertentu dan memperkenalkan sesuatu yang lain. Dalam membaca pembahasan mengenai berbagai pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya selalu diingat bahwa dalam pengamalannya sehari-hari variasinya tidak sedikit.
Asas-asas
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan oleh ‘Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini disebutkan satu per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut Khalidiyah, Jami al-’Ushul Fi al-’Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya’ al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip dengan uraian Taj al-Din Zakarya (“Kakek” spiritual dari Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan kebanyakan penganut Naqsyabandiyah India).
Asas-asasnya ‘Abd al-Khaliq adalah:
Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”. Suatu latihan konsentrasi: sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).Nazar bar qadam: “menjaga langkah”. Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.Safar dar watan: “melakukan perjalanan di tanah kelahirannya”. Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi)].
Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”. Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat pada konsep “innerweltliche Askese” dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai “menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang”; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara’. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.Yad kard: “ingat”, “menyebut”. Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen.Baz gasyt: “kembali”, ” memperbarui”. Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.Nigah dasyt: “waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut.
Al-Kurdi mengutip seorang guru (anonim): “Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun.”Yad dasyt: “mengingat kembali”. Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Zat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.
Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:
Wuquf-i zamani: “memeriksa penggunaan waktu seseorang”. Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir seseorang”. Dengan hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.Wuquf-I qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”. Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir di atasnya.
Zikir dan Wirid
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain. Dzikir dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjamaah.
Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum’at dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi. Dua dzikir dasar Naqsyabandiyah, keduanya biasanya diamalkan pada pertemuan yang sama, adalah dzikir ism al-dzat, “mengingat yang Haqiqi” dan dzikir tauhid, ” mengingat keesaan”. Yang duluan terdiri dari pengucapan asma Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafty wa itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat la ilaha illa llah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran. Variasi lain yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya adalah dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini, lathifah (jamak latha’if), adalah qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting susu kiri; ruh (jiwa), selebar dua jari di atas susu kanan; sirr (nurani terdalam), selebar dua jari di atas putting susu kanan; khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di atas puting susu kanan; akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada; dan nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama. Lathifah ketujuh, kull jasad sebetulnya tidak merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan.
Konsep latha’if — dibedakan dari teknik dzikir yang didasarkan padanya — bukanlah khas Naqsyabandiyah saja tetapi terdapat pada berbagai sistem psikologi mistik. Jumlah latha’if dan nama-namanya bisa berbeda; kebanyakan titik-titik itu disusun berdasarkan kehalusannya dan kaitannya dengan pengembangan spiritual. Ternyata latha’if pun persis serupa dengan cakra dalam teori yoga. Memang, titik-titik itu letaknya berbeda pada tubuh, tetapi peranan dalam psikologi dan teknik meditasi seluruhnya sama saja. Asal-usul ketiga macam dzikir ini sukar untuk ditentukan; dua yang pertama seluruhnya sesuai dengan asas-asas yang diletakkan oleh ‘Abd Al-Khaliq Al-Ghujdawani, dan muntik sudah diamalkan sejak pada zamannya, atau bahkan lebih awal. Pengenalan dzikir latha’if umumnya dalam kepustakaan Naqsyabandiyah dihubungkan dengan nama Ahmad Sirhindi. Kelihatannya sudah digunakan dalam Tarekat Kubrawiyah sebelumnya; jika ini benar, maka penganut Naqsyabandiyah di Asia Tengah sebetulnya sudah mengenal teknik tersebut sebelum dilegitimasikan oleh Ahmad Sirhindi.Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir; pembacaan aurad (Indonesia: wirid), meskipun tidak wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan dan atau memuji Nabi Muhammad, dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang sudah ditentukan dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan mendatangkan manfaat. Seorang murid dapat saja diberikan wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh syekhnya, untuk diamalkan secara rahasia (diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain; atau seseorang dapat memakai kumpulan aurad yang sudah diterbitkan.
Naqsyabandiyah tidak mempunyai kumpulan aurad yang unik. Kumpulan-kumpulan yang dibuat kalangan lain bebas saja dipakai; dan kaum Naqsyabandiyah di tempat yang lain dan pada masa yang berbeda memakai aurad yang berbeda-beda. Penganut Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya, sering memakai Al-Aurad Al-Fathiyyah, dihimpun oleh Ali Hamadani, seorang sufi yang tidak memiliki persamaan sama sekali dengan kaum Naqsyabandiyah.






DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal, Dr. H. M.A. 2003. Tasawuf dan Gerakan Tarekat. Bandung: PT Angkasa.
Mulyati ,Sri, Dr. Hj M.A. 2004. Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Nata, Abibudin,Drs.H.M.A.1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal.274
Team penyusun naskah text book pengantar ilmu tasawuf. 1981/1982. Pengantar Ilmu Tasawuf. Proyek pembinaan perguruan tinggi agama IAIN Sumatera Utara.
Van Bruinessen, Martin. 1996. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan.
http://dewasyair.blog.friendster.com/asal-nama-tarekat-naqsyabandiyah/
http://zainurie.wordpress.com/2007/03/04/tarekat-naqsyabandiyah/